RUU Keuangan Negara Masih Menggantung
Pembahasan mengenai RUU Keuangan Negara tak kunjung usai meski sudah 2 tahun lebih dibahas oleh Badan Legislasi DPR-RI. Ketua Panja RUU Keuangan Dimyati Natakusuma meminta Menkeu untuk mempelajari berbagai masukan yang sudah disampaikan oleh instansi lainnya dalam rangka perubahan atas RUU ini.
“Kami minta Menkeu untuk mengkaji masukan dari PPATK dan BPK, termasuk nantinya kami akan mengundang KPK untuk kami minta masukan tentang RUU ini. Saya berharap kepada Menkeu ada keinginan untuk mengubah dalam rangka menyempurnakan UU yang ada,” ujar Dimyati ketika rapat dengar pendapat antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo beserta jajaran di Ruang Rapat Baleg, Nusantara I, Senayan, Jakarta Rabu (20/02) sore.
Dimyati berharap dengan adanya perubahan RUU ini dapat meminimalisir terjadinya KKN di pusat maupun di daerah. Sehingga tercipta sistem yang baik dan efektif, serta penyaluran dana yang lebih tepat sasaran. Ketika ditanya mengenai kapan penyelesaian RUU ini, Dimyati optimis tahun ini bisa selesai.
Sebagian anggota Baleg menilai bahwa masih banyak celah di UU No 17 tahun 2003 yang belum diperbaiki dan harus diubah. Anggota Baleg Nudirman Munir mengatakan bahwa rencana untuk merevisi UU ini sudah masuk dalam Prolegnas 2013, dan pemerintah sudah menyetujuinya.
Anggota Baleg Hendrawan Supratikno menilai bahwa selama ini terjadi diskoneksi di keuangan negara, yaitu tidak keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran. Contohnya mengerjakan sesuatu yang tidak direncanakan, atau malah tidak mengerjakan yang sudah direncakanan.
“Dalam UU ini juga memungkinkan adanya diskresi (kebebasan mengambil keputusan sendiri,), sehingga terjadi kongkalikong dari hulu sampai hilir. Jadi, secara desain UU ini melahirkan koruptor. Itu sebabnya, DPR ingin menutup peluang atau lubang-lubang dalam rangka penyalahgunaan uang negara, dengan cara mengubah UU ini,” ujar Hendrawan.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak perlu direvisi. Ia menilai UU tersebut bisa menjadi pendorong reformasi bidang keuangan negara dan terjadinya tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance).
“Ada prestasi dari UU ini, salah satunya peningkatan volume APBN. Peningkatan APBN berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dampak dari kinerja keuangan ini adalah kenaikan APBN dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2005, APBN masih Rp 500 triliun, sedangkan sekarang sudah sampai Rp 1.600 triliun," ujar Agus. (sf), foto : ry/parle